Sabtu, 17 Oktober 2015

Every Wanderer has Its Own Story


Taken From

Pembicaraan singkat ini berlangsung sekitar setahun yang lalu. (Sudah lama banget yaa. Maafkan segala kekhilafan saya yang baru bisa postingnya sekarang. Huhu). Pembicaraan singkat yang terjadi antara saya dan bapak penjual Nasi Goreng Cirebon. Nasi Goreng Cirebon? Penasaran kan? Saya juga. Kenapa di kota kecil yang merupakan bagian dari Kepulauan Riau ini, yang mayoritas penjual makanan menjajakan Masakan Padang, ada Nasi Goreng Cirebon? Mata saya dan suami (baca: kami, red) secara otomatis langsung tertuju padanya. Cieeehh...

Tidak seperti biasanya, hari itu cukup sepi atau mungkin saya yang terlalu sore, jadi belum ramai atau belum banyak pembeli. Sambil menunggu mie direbus, si bapak duduk di depan saya. Fyi, saya memesan Nasi Goreng Mawut yang didalamnya terdapat campuran mie dan sayuran, tidak hanya nasi goreng saja.

“Kemarin- kemarin kok lama nggak jualan kemana pak?” Saya mencoba membuka pembicaraan dengan si bapak.
“Istirahat mbak, capek.” Jawab si bapak.
“Lama banget ya Pak istirahatnya, sampai semingguan lebih.” Lanjut saya.
“Oh, yang Idul Adha kemarin saya pulang kampung mbak, ke Cirebon. Kan jauh mbak, saya naik bus. Jadi lama pulangnya. Sebelumnya saya jarang pulang. Kalau Idul Adha saya pulang, jadi libur dua puluh harian. Kalau liburnya tiga atau empat harian, itu istirahat, libur jualan.”
“Oohh...” Saya pun cuma manggut-manggut aja mendengarkan penjelasan si Bapak.
“Jadi, asli dari Cirebon pak?” Saya masih penasaran.
“Iya mbak.” Jawabnya singkat.
“Kok bisa sampai sini pak?”
“Ya, merantau mbak, mencari nafkah. Akhirnya sampai sini. Saya sudah tinggal disini selama ... tahun mbak. (Maaf, saya lupa tepatnya berapa tahun, hehe). Saya sudah ... tahun tidak pulang, makanya libur jualan agak lama.”
Saya hanya mendengarkan saja sambil manggut-manggut mendengarkan penjelasan si bapak. Kemudian si bapak permisi, melanjutkan memasak pesanan saya.

Sampai di rumah, saya ceritakan tentang obrolan saya dengan si bapak penjual Nasi Goreng Cirebon kepada suami saya. Lhah tadi suami saya kemana? Adaaa, kami sedang berbagi tugas. Saya bertugas memesan dan mengantri nasi goreng sementara suami saya ke minimarket yang letaknya di sebelah tenda nasi goreng.  

Kami pun mulai berdiskusi tentang perantauan. Duri merupakan salah satu kota pendatang, dimana banyak sekali pendatang dari luar daerah yang mencari nafkah disini. Daya tarik dari Kota Duri adalah adanya Camp Chevron yang merupakan ‘ladang utama’ bagi penduduk Riau dan sekitarnya serta keseluruhan perantau yang mencari nafkah. Pendatang di Kota Duri berasal dari berbagai daerah, tetapi yang mendominasi adalah pendatang yang berasal dari Padang, Medan dan Jawa. Disini kami termasuk ke dalam suku Jawa, sudah tentu. Keberadaan suku Jawa disini adalah bagian dari resiko pekerjaan yang mengharuskan karyawan untuk ditempatkan di lokasi tertentu sesuai dengan keputusan dari manajemen kantor pusat, seperti suami saya.

Dari diskusi dengan suami, saya pun akhirnya mulai mengerti dan memahami bahwa ternyata saya ‘tidak sendiri’. Banyak pasutri di luar sana, selain kami, yang survive merantau demi keluarga. Saya pun jadi mengenal banyak teman, terutama adalah teman suami saya, sesama istri perantau. Banyak orang Jawa yang tinggal di Pulau Sumatera untuk mencari nafkah. Wajar kalau menurut saya, saya sempat merasa takut karena harus meninggalkan pekerjaan saya, berada di kota orang, jauh dari rumah, berbeda kebudayaan, berbeda bahasa dan sebagainya. Tapi ternyata, saya malah bertemu dengan salah satu sahabat saya saat kuliah di Surabaya, bertemu dengan banyak teman-teman sesama orang Jawa. Jadi kesimpulannya adalah menjadi perantauan itu tidak seburuk yang saya bayangkan. Jauh dari keluarga dan orang tua itu pasti, tapi, kita akan bertemu dengan orang-orang baru, seperti saya yang bertemu dengan bapak penjual Nasi Goreng Cirebon yang ternyata asli orang Cirebon, belajar kebudayaan baru, bahasa baru, tidak sengaja bertemu dengan salah satu sahabat dan banyak hal baik lainnya. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?



Notes:
Tulisan ini diikutsertakan dalam IHB Blog Post Challenge: “Interview a Stranger”. Yuk ikutan tantangan  indonesian-hijabblogger.com ini, ada hadiah menarik untuk 3 tulisan terbaik lho, jangan sampai ketinggalan ya, masih tiga hari lagi nih, maksimal tgl 20 Oktober 2015 ya




Salam


Lisa.      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar