Bismillahhirrahmannirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh...
Saya sudah bisa motret. Tapi cuma
sekedar motret sih, itupun biasanya ya pakai HP aka smartphone, belum ada niat buat belajar motret pakai kamera. Selain
harganya yang nggak terjangkau kantong saya, rasanya belum dimungkinkan untuk
memilikinya dalam waktu dekat. Lagian, saya pikir untuk hobi baru saya yang
satu ini, sepertinya hanya memerlukan smartphone
berkamera oke dan berkapasitas besar, hehehe.
Styling? Sudah lebih mendingan sih, dengan bantuan prop yang sudah
semakin menumpuk dan tentu hasrat menumpuk prop yang belum padam, alias masih
pengen ini itu. Hehehe. Saya pikir, inilah efek sampingnya belajar motret,
memiliki hasrat luar biasa buat ‘mengumpulkan’ apa saja yang bisa dipakai
sebagai prop.
Ilmu photography? Masih cetek. Hasil belajar dari ikutan workshop-workshop sebelumnya. Yang
kadang-kadang terpakai, tapi lebih banyakan khilafnya. Atau ‘nggak ngeh’ kalau
ada aturan ini dan itu, ada rules
yang nggak sengaja dilanggar karenga nggak ‘sadar’ kalau ada aturannya, tapi
yang lebih sering adalah tentang istilah, istilah photography maksudnya. Istilahnya atau definisinya aja kadang nggak
paham, bahkan mendengar aja belum tentu pernah, jadi yaaa gitu deh... Asal menurut
saya oke aja, selesai. Hahaha.
Nah, biar saya nggak semakin
tersesat semakin dalam, saya rajin banget ikutan workshop dan challenge,
biar semakin mahir dan fasih dengan segala rules
dan aturan-aturan photography. So, workshop mana lagi yang akan jadi
sasaran saya? Ada. Dan Alhamdulillah-nya saya sudah pernah ketemu dengan
narasumbernya. Siapa? Mb Ika Rahma, si pemilik account ig Dapur Hangus. Kalau baca perjalanan workshop yang saya ikuti, pasti tahu deh yang mana. Kalau belum,
boleh sok dibaca dulu #EmpoweringMAMAbersama Emeno Nursing Wear *maksa ini
harus!!!
Workshop yang saya ikuti ini adalah workshop yang diadakan dalam rangka Ulang Tahun Dapur Hangus yang
ke-5. Account Dapur Hangus di Facebook sudah berusia 5 tahun per
tanggal 15 Maret kemarin. Nah, menurut cerita dari si empunya, Mb Ika Rahma,
Dapur Hangus berawal dari kenekatannya membuat blog masakan. Mengapa dinamakan
Dapur Hangus? Karena beliau bukan chef,
koki atau pun tukang masak. Beliau yang ngakunya nggak suka dan nggak bisa masak
ini nekat bikin blog masakan. Menurutnya, karena beliau nggak bisa masak,
setidaknya, beliau bisa mempertahankan pembaca blognya kalau memiliki foto yang
keren. Selain itu, kenekatannya juga didasari atas kebutuhan memasak untuk
putri pertamanya yang saat itu akan memasuki tahap MPASI, jadi mau nggak mau,
beliau pun belajar memasak.
Begitulah, tujuan awal dibuatnya
Dapur Hangus yang sekarang sudah melebarkan sayapnya sebagai endorser, food photographer dan
narasumber food photography melalui berbagai workshop.
Nah, seperti Dapur Hangus yang memiliki tujuan awal yang unik, menurut Mb Ika
Rahma, setiap hal yang kita lakukan pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan
memotret. Harapannya dengan adanya tujuan yang jelas, maka memotret pun akan
menjadi lebih terarah. Ada banyak sekali tujuan memotret, diantaranya untuk
tujuan promosi produk makanan buatan kita sendiri, review, pembuatan buku menu, pembuatan katalog jualan, pembuatan banner, untuk update socmed, sebagai portofolio personal,
bahan pembelajaran, dll. Diantara sekian banyaknya tujuan memotret, pastikan
untuk menentukan tujuan memotret terlebih dahulu sehingga gambar yang
dihasilkan akan lebih bermakna.
Sebagai pengguna smartphone untuk fotografi, Mb Ika Rahma
menyarankan untuk mulai memperhatikan adanya distorsi pada hasil foto kita. Apa
itu? Distorsi adalah penyimpangan
lensa yang biasa terjadi pada kamera smartphone,
sehingga akan terjadi selisih ukuran benda pada foto dengan ukuran aktualnya.
Benda pada foto yang dihasilkan melalui kamera smartphone akan mengalami penyusutan ukuran, menjadi lebih kecil
dari ukuran sebenarnya. Sehingga perlu memperlebar jarak saat memotret untuk
mengurangi timbulnya distorsi. Jadi, kita perlu memotret dari jarak yang agak
jauh, tidak terlalu dekat dengan benda. Distorsi ini terjadi secara umum ya,
artinya semua hasil foto yang dihasilkan melalui kamera smartphone akan terkena efek ini. Smartphone jenis apapun. Bagi Mb Ika Rahma sendiri yang kebanyakan
menggunakan kamera, beliau akan langsung tahu dan bisa membedakan, ada atau
tidaknya efek distorsi yang ditimbulkan dari sebuah foto. Saya nih, baru ‘ngeh’
kalau ada hal semacam ini, langsung atur jarak! Siap graaak!!!
Contoh Distorsi: chococips dalam wadah kuning di foto kiri |
Menurut Mb Ika Rahma, Lighting
untuk Food Photography sedikit berbeda dengan fotografi model. Food photography menggunakan sumber
cahaya dari belakang dan dari samping saja. Jika sumber cahaya berasal dari
depan, maka makanan akan terlihat flat
dan tidak berdimensi. Cahaya dari depan juga dapat menghilangkan tekstur
makanan, padahal justru teksturlah yang ingin dimunculkan agar makanan terlihat
lezat dan menggiurkan.
Tips lain tentang lighting adalah jangan lupa mematikan flash,
baik ketika memotret dengan menggunakan smartphone
ataupun kamera. Jika terpaksa atau diharuskan memotret saat malam hari,
usahakan untuk mematikan lampu ruangan, karena pantulan lampu ke tembok akan
mengganggu hasil foto kita. Nah, sebagai pengganti lampu ruangan, gunakan
sumber cahaya dari lampu belajar, lampu emergency
atau lampu senter smartphone.
Usahakan lampu yang digunakan adalah lampu LED putih 4 Watt jika menggunakan
lampu belajar.
Yang nggak kalah penting adalah
jangan pernah menghilangkan bayangan benda yang akan difoto. Semua benda yang
difoto harus ada bayangannya, walaupun tipis atau samar, tetapi harus tetap
ada, agar benda terlihat lebih aktual atau nyata. Bayangan benda akan membantu
mempertegas Point of Interest dari
foto yang dihasilkan. Masak iya makanan nggak ada bayangannya?
Yuukk, lanjuutt...
Ternyata, pemilihan background itu nggak kalah penting juga
lho... Pemilihan warna background
bisa tetap ataupun berubah-ubah, tergantung dari tujuan dan tema foto yang
ingin dihasilkan. Background tetap
ternyata bisa memberikan arti untuk branding
identitas. Jadi, bisa langsung ketahuan tanpa harus melihat credit tittle. Mostly, saya menggunakan background warna papan rustic hitam, karena saya merasa lebih
bisa menguasai editing dan styling dengan background hitam. Sementara masih menghindari background warna terang karena merasa nggak PD, rasanya hasil foto
saya jadi kurang fotogenik kalau memakai background
putih.
Untuk angle atau sudut
pengambilan gambar sudah sering saya bahas di postingan-postingan workshop yang saya ikuti sebelumnya.
Biar tambah nempel merekat kuat di ingatan, yuk diomongin lagi...
Eye Level adalah sudut
pengambilan gambar ketika kamera dan benda berada dalam garis sejajar. Angle ini digunakan apabila kita ingin
mengekspos tinggi makanan yang kita foto. Misalnya, cake bertumpuk, segelas besar Milo Dinosaurus atau souffle yang mengembang tinggi.
Above Eye Level (30’-40’)
adalah sudut pengambilan gambar sedikit lebih tinggi dan lebih miring dari Eye Level sebesar 30’-40’. Angle foto ini cocok untuk hampir semua
jenis makanan. Bila makanan diletakkan di piring, volumenya akan bisa
terkekspos maksimal. Dengan menggunakan angle
ini, memotret latte art pada kopi dapat memungkinkan kita
untuk mengekspos dua hal, yaitu keindahan latte
art dan sekaligus meng-capture seberapa besar mug yang digunakan.
Bird Eye View adalah
sudut pengambilan gambar dari atas dengan kamera mengadap ke bawah. Angle Bird Eye View inilah yang
melahirkan tren foto flatlay, yang
mengatur berbagai macam properti foto di permukaan atau bidang datar, lalu
memotretnya dari atas. Makanan yang cocok untuk angle ini misalnya adalah Pizza, topping yang beragam, irisannya yang membentuk segitiga dan keju
mozzarellanya yang mulur-mulur membuat Pizza dapat terekspos secara maksimal.
Contoh lain yang cocok untuk penggunakan angle
ini adalah cup cake dengan hiasan fondant dua dimensi atau pie yang dipotong pun cocok untuk difoto
dengan angle ini.
Below Eye Level (Angle Mata
Kodok) adalah sudut pengambilan gambar dengan posisi kamera agak ke bawah
benda sehingga foto yang dihasilkan akan tampak lebih tinggi, atau menimbulkan
kesan tinggi. Misalnya adalah minuman dalam gelas sehingga akan terekspos gelas
yang terlihat atau terkesan lebih tinggi.
Saya suka yang mana? Bird Eye View (BEV) dong... Rasa-rasanya
lebih kelihatan unik aja. Saya pun bercita-cita untuk belajar Messy Food Photography, meski berantakan
tapi tetap fotogenik. Motretnya sih seneng, beresinnya yang senep. Gara-gara
saking berantakannya. Hehehe.
Bagaimana? Semoga dapet ilmu baru
yaa...
Maunya sih dilanjut terus, karena
materinya masih lumayan panjang. Tapi, takutnya malah jadi super panjang, kan
nggak enak juga sayanya kalau nanti saya dapet penghargaan pembuat blogpost terpanjang, hehehe. Jadi, napas
dulu aje kali yee... Biar nggak begah...
Oke, oke, semoga bermanfaat ^^
Mb Ika Rahma, the woman behind @dapurhangus |
Stand Bazar Dapur Hangus yg bikin nggak konsen nyimak materi :D |
Salam,
Lisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar