Jumat, 14 Maret 2014

Selamat Menempuh Hidup Baru


Selamat Menempuh Hidup Baru, Semoga Berbahagia adalah sebuah kalimat yang sering diucapkan ketika mendengar kabar bahagia dari sepasang manusia yang akan mengukuhkan hubungan keduanya dalam sebuah ikatan yang disebut sebagai pernikahan. Sebuah kalimat sederhana, simpel dan biasa menurut saya sampai beberapa menit yang lalu, sebelum saya menyadari betapa “keramatnya” kalimat itu. Ketika saya menerima kalimat itu tahun lalu, saya pun masih belum menyadari hal keramat apa yang terkandung di dalamnya.
*mungkin karena saya agak telmi juga, hehehehe

Sampai beberapa menit lalu, saya menyadari kesaktian kalimat itu. Ketika seorang teman mengirim satu paragraf kata-kata perpisahan, yang intinya pamit karena dia telah resign dari pekerjaannya dan menghadapi minggu-minggu terakhir bekerja di perusahaan yang sama dengan saya. Dengan salah satu alasan yang mungkin ada di dalamnya adalah akan menikah. Lantas mengapa harus resign segala? Perusahaan mana yang tidak mengizinkan karyawannya menikah? Bukan. Jelas bukan itu inti yang ingin saya bicarakan disini. Tapi boleh juga sih dijawab, biar nggak penasaran J Saya sih tidak tahu pasti, Cuma menebak-nebak dengan kemungkinan benar fifty-fifty. Mungkin calon dari teman saya yang resign itu adalah teman saya juga di perusahaan yang sama. Adalah suatu aturan yang umum pada perusahaan BUMN untuk tidak menikah dengan sesama karyawan BUMN pada perusahaan yang sama. Terkait dengan kebijakan yang berhubungan dengan gaji, pesangon ataupun sejenisnya. Jikalau memang jodohnya bertemu pada perusahaan yang sama, maka salah satunya harus mundur teratur. Begitulah sepengetahuan saya. Kalau saya salah, boleh dikoreksi

Kembali lagi, dengan segala kemungkinan yang saya utarakan sebelumnya, saya jadi seperti menyadari sesuatu, betapa keramat kalimat "Selamat Menempuh Hidup Baru". Sebuah kalimat yang mampu membuat teman saya, secara lingkup lebih dekat, satu perusahaan, resign untuk alasan tersebut. Berani mengambil risiko untuk bertanggung jawab terhadap hidup pasangannya dan keluarga yang akan dibangunnya nanti. WOW. Betapa saya terlalu apatis untuk menyadari itu selama setahun ini. Belum berani untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab dari semua pertanyaan saya selama ini.

Karena teman saya juga, saya jadi teringat cerita dari sahabat-sahabat saya yang lebih dulu, lebih bijak, dan lebih berani dalam mengambil keputusan. Suami dari salah seorang sahabat saya juga mengambil risiko resign dari pekerjaan lamanya untuk bekerja di kota yang sama dengan sahabat saya. Dan ketika si suami akan di mutasi, muncullah sedikit guncangan yang menyebabkan kedua pasang orang tua plus sahabat saya dan suaminya brainstorming cukup lama diwarnai dengan perdebatan dan emosi untuk mengambil sebuah keputusan. Namun Allah swt berkehandak lain, dan masih dengan rutinitas yang sama hingga hari ini

Sebuah cerita dari perjalanan sahabat saya yang lain. Saya mengenalnya sudah hampir 7 tahun lamanya, sejak kami dipertemukan di awal saya dan dia menjadi mahasiswa baru. Dan saya mengenal hampir dari seluruhnya tentang dia. Sahabat saya. Dengan segala kepandaian yang dia miliki, dia berhasil meraih gelar S2 double degree yang katanya dapat 2 gelar, dari dalam dan luar negeri, yang ditempuh 2 tahun, dengan masing-masing 1 tahun. Setelah lulus, niatnya akan bekerja kemudian menikah dengan pasangannya yang juga saya kenal sejak kuliah. Ternyata, suaminya yang lebih dulu bekerja mendapat tugas belajar ke luar negeri, beasiswa S2 dari perusahaan tempatnya bekerja selama 2 tahun. Dengan waktu keberangkatan tepat 2 bulan dari kepulangan sahabat saya dari kuliah S2. Dan akhirnya, sahabat saya urung untuk bekerja, dengan jarak waktu yang singkat, antara kepulangannya dari luar negeri dan keberangkatan pasangannya untuk S2, mereka mempersiapkan pernikahan. Karena kedua keluarga telah sepakat sebelum sahabat saya menempuh S2. Sepasang sahabat saya ini melangsungkan akad nikah. Beberapa hari kemudian, suaminya berangkat ke negara yang memiliki jeda waktu 11 jam dengan Indonesia. Sahabat saya, pengantin baru, ditinggal di Indonesia. Setelah melalui berbagai pemikiran dengan kedua pasang orang tua, beberapa bulan kemudian sahabat saya berangkat, menyusul suaminya.
 
Dari ketiga kisah perjalanan hidup teman saya tersebut, membuat saya terus berpikir bagaimana dengan saya. Yang masih begini-begini saja. Berada pada zona nyaman dengan apa – apa yang sudah saya miliki dan jalani di sini, sementara suami saya mencari nafkah di kota lain untuk saya. Saya, yang belum berani berkorban lebih untuk suami saya, keluarga kami, bertanggung jawab untuk itu. Memang berat jika dipikirkan. Tetapi jika dijalani sehari demi sehari, terlupakan dengan pekerjaan, jadi tidak terlalu berat. Hanya saya, yang masih belum berani untuk mengambil keputusan. Tapi saya percaya, ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pengorbanan. Saya dan suami saya sedang belajar untuk itu, berkorban dan bersabar untuk memperoleh yang lebih baik, menunggu ridho Allah swt untuk menjawab pengorbanan dan kesabaran kami. Karena Allah Maha Tahu J and the show must go on. Semua akan indah pada waktunya. Semoga jalan yang telah saya pilih, saya tempuh dan yang menanti di masa mendatang selalu berada dalam tuntunan Allah swt. Dan untuk sahabat- sahabat saya yang telah menginspirasi saya, mempercayakan saya sebagai teman berbagi, semoga dipilihkan jalan terbaik dan sukses dengan jalan apapun yang kalian tempuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar