Bismillahhirrahmannirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh...
Masya Allah... lamaaa banget
nggak blogging. Kangeeen banget
banget sebenarnya, tapi apa daya, ada sesuatu yang sedang saya dan suami
prioritaskan saat ini, jadi blogging,
memasak, baking dan kegiatan rumah
tangga lainnya sementara dinomorsekiankan. So,
sharing resep cooking and baking-nya
saya tunda dulu ya, karena memang lagi nggak aktif di dapur untuk sementara
waktu, karena nggak masak, otomatis juga nggak ada yang di foto dan di share di blog, begitu juga dengan feed
di Instagram. Tapi tenang, ada beberapa hasil baking dan cooking saya
yang Insya Allah belum sempat di post,
akan saya post bertahap. Hehehe.
Jadi sekarang mau posting apa? Sesuatu yang menjadi top priority
saya dan suami selama setahun terakhir ini. Here
we go...
The beginning of our story...
Sebagai pasangan suami istri yang
sudah lama menikah, kehadiran buah hati tentu sangat dinanti-nantikan dalam
keluarga, termasuk kami. Benar, kami belum dikaruniai seorang anak pun. Benar,
saya pun belum pernah hamil sebelumnya. Alhamdulillah. Tetap Alhamdulillah, karena
keadaan itu memberikan kesempatan pada kami untuk lebih bisa saling menguatkan
dan bersyukur, kami bisa jalan-jalan kemanapun berdua, pacaran halal. Kami bisa
jalan-jalan ke Sumatera Barat, Bukittinggi, Janjang Koto Gadang, yang nggak pernah kami bayangkan sebelumnya, kami
bisa menikmati itu. Alhamdulillah. Nggak kebayang kalau seandainya saya hamil
ketika kami masih berada di perantauan.
Apakah kami menundanya? Tidak. Then why? Mungkin memang belum rejeki
kami dan tentu saja takdir. Kami mengira perjalanan rejeki anak untuk kami
mulus-mulus saja, sama dengan pasutri kebanyakan yang langsung dikaruniai buah
hati tidak lama setelah menikah. Ternyata, ujian kami jauh lebih lama, lebih
berat dan penuh drama, menurut kami. Kami perlu menunggu 4.5 tahun untuk bisa
menggendong bayi pertama kami. Insya Allah launching
bulan Agustus 2018, mohon doanya yaaa...
Tahun pertama kami menikah, saya
masih bekerja, bahkan, kami tidak pernah tinggal seatap lebih dari 6 hari
selama satu tahun. Masing-masing dari kami masih bekerja, pekerjaan kami
mengharuskan kami terpisah propinsi bahkan pulau. Ini kemungkinan pertama yang
kami simpulkan sebagai penyebab belum hadirnya buah hati kami. Mungkin, kami
terlalu sering memfokuskan diri pada urusan pekerjaan kami masing-masing,
mungkin kami selalu melewatkan masa subur kami setiap kali berhubungan, mungkin
juga kami terlalu lelah, mungkin, mungkin, dan kemungkinan lainnya yang kami
anggap wajar saja di tahun-tahun awal pernikahan kami.
Sampai akhirnya kami memutuskan
untuk konsultasi ke dokter. Inipun tidak berjalan mulus. Nggak mudah memang
menemukan dokter yang mau mendengarkan, menolong dan nggak cuma mengandalkan
obat. Alhamdulillah. Saat itu kami dipertemukan dengan dokter wanita yang cukup
terkenal di Madiun, Jawa Timur, kota kelahiran kami, dr. Susanti Mintarsih,
SpOG. Menurut mertua saya, dokter Santi, panggilannya, mungkin ‘mau menolong’,
nggak cuma acuh sambil memberi resep. Alhamdulillah, benar saja, ketika kami konsultasi,
beliau sangat terbuka dengan kami sehingga kami sangat nyaman konsultasi dengan
beliau. Insya Allah lahiran nanti rencana mau ke dr. Santi lagi. Mohon doanya
ya teman-teman...
Our Problem is...
Dengan dokter Santi, saya
menjalani USG abdomen dimasa subur dan masa haid, USG transvaginal dan dirujuk
untuk HSG ke dr. Niken. Sementara suami saya harus menjalani tes sperma di lab
untuk melihat kualitas spermanya. Dari berbagai tes organ kesuburan itu
akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa saya memiliki mioma berukuran 2.4 cm dan
saluran tuba falopii saya yang kiri menyempit, tetapi tidak buntu. Sementara
suami saya menderita Teratozoospermia. Teratospermiaor teratozoospermia is a condition characterized by the presence of
sperm with abnormal morphology that affects fertility in males. Dokter
Santi tidak melakukan perawatan lebih lanjut untuk kami. Menurut kesimpulan
beliau, status kesuburan kami berada di tengah-tengah, tidak bisa dikatakan
subur banget ataupun tidak subur sama sekali, karena permasalahan kami dianggap
hanya sebagian-sebagian saja, masih ringan. Hanya saja, suami saya diminta
untuk konsultasi ke dokter spesialis Andrologi untuk mengetahui dan menjalani
perawatan lebih lanjut. Nah, bagaimana dengan Mioma saya? Dokter Santi tidak menyarankan
untuk mengoperasi atau mengambil mioma saya, karena dianggap tidak berbahaya,
apalagi saya belum pernah hamil. Memaksakan operasi malah akan merubah kondisi
alami rahim. Begitu pula dengan kondisi tuba falopii saya yang menyempit. Tidak
perlu dilakukan tindakan khusus, karena dianggap masih bisa berfungsi dengan
baik. Alhamdulillah.
Tahun berganti, saya memutuskan
untuk resign dan mengekor kemanapun
suami saya ditugaskan. Kami pun semakin merindukan kehadiran buah hati di
keluarga kecil kami. Sambil terus berusaha dan berdoa semampu kami, kami pun
sempat mencoba beberapa perawatan alternatif dan tentu saja mencari dokter
spesialis Andrologi untuk suami saya, yang tidak bisa ditemui di kota kecil
seperti Madiun, harus ke kota besar dan rumah sakit besar setidaknya.
Alternatif apa yang saya lakukan?
Saya pernah pijat rahim atau perut yang katanya bisa membenarkan posisi rahim
saya, yang kata si ibu tukang pijat mungkin jadi penyebab utama kami belum
dikaruniai buah hati. Sakit? Banget. Seingat saya, saya hampir tidak bisa
beraktivitas normal selama lebih dari seminggu. Seharusnya pemijatan dilakukan
tiga sampai empat kali pijat setelah haid, tapi saya tidak mampu menahan
sakitnya. Hanya sekali saja dan kemudian kapok. Hehehe. Selain itu, untuk
menunjang pengobatan, saya diharuskan minum sari akar pohon jeruk nipis yang
direbus dengan sedikit air. Masya Allah pahitnya minta ampuuun... dan nggak
mampu minum karena pahit banget, padahal nyarinya susah banget.
Our Last Hope...
Pindah ke Jakarta, kami mulai
merencanakan untuk mengikuti program lagi. Harapan kami, dengan kepindahan
tugas suami saya, ada kemudahan akses untuk ke rumah sakit. Akses yang kami
maksud adalah tentu karena kami percaya Jakarta memiliki banyak rumah sakit
besar, dokter-dokter yang jauh lebih hebat dan teknologi medis paling mutakhir
dibanding rumash sakit serupa di daerah, secara Jakarta adalah pusat
pemerintahan Indonesia dan segala sesuatunya dimulai dari sini.
Kali ini kami berencana untuk
mengikuti program bayi tabung (IVF).
Q & A
Apa itu IVF?
IVF (In Vitro Fertilitation) atau Bayi Tabung adalah suatu proses
pembuahan sel telur oleh sperma di luar tubuh si wanita: in vitro (di dalam gelas kaca). Proses ini melibatkan proses
ovulasi seorang wanita, mengambil suatu ovum atau sel-sel telur dari ovarium
(indung telur) wanita dan membiarkan sperma membuahi sel-sel tersebut di dalam
sebuah medium cair di laboratorium. Sel telur yang telah dibuahi (zigot)
dikultur selama 2-6 hari di dalam sebuah medium pertumbuhan kemudian
dipindahkan ke rahim wanita dengan tujuan menciptakan keberhasilan kehamilan.
Secara definisi begitu ya. Kalau secara gampangnya, menurut sepemahaman saya,
sperma pria dan sel telur wanita diambil dari dalam tubuh kemudian di pertemukan
(dikawinkan) di luar tubuh yaitu melalui media tertentu di laboratorium, di
biarkan berkembang sampai hari ke-3 atau ke-5 kemudian baru dimasukkan kembali
ke dalam rahim wanita.
Image Source |
Mengapa kami memilih IVF?
Selain karena permasalahan
kesuburan kami, tentu saja karena IVF menjadi harapan kami satu-satunya setelah
berbagai usaha medis dan non-medis yang telah kami lalui tidak membuahkan hasil.
Menurut kami, IVF adalah usaha fisik kami yang paling tinggi, paling maksimal
untuk merayu Allah subhanahu wa ta’ala agar mengkaruniakan buah hati untuk kami,
mengingat biayanya yang sangat mahal bagi kami.
Mengapa kami tidak mencoba IUI atau inseminasi dulu yang dari segi
biaya tentu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya IVF?
Menurut sepengetahuan kami, kami
merasa teknologi IUI atau Inseminasi tidak jauh berbeda dengan berhubungan
pasutri secara normal. Karena IUI hanya mendekatkan sperma untuk membuahi ovum
(sel telur) dengan sendirinya. Sementara, gangguan sperma yang dimiliki suami
saya bukan karena pergerakannya ataupun kekuatan jarak ejakulasinya yang
bermasalah. Jadi kami mantap memilih IVF sebagai jalan ikhtiar kami untuk
menjemput buah hati kami. Dalam hal kesempatan hamil, kami menganggap IVF
memiliki kesempatan lebih tinggi, karena pemindahan kembali ke dalam rahim
wanita sudah dalam bentuk zigot atau hasil perkawinan sperma dan sel telur
(ovum).
Waaahh, tahu-tahu sudah sebegitu
panjang yaaa, nafas duluuu. Padahal masih permulaan banget, baru sharing soal what n’ why, permasalahan kesuburan dan alasan
kami memilih jalan ini. Banyaak banget cara untuk hamil selain hamil normal.
Mungkin pasangan A bisa hamil dengan cara pertama, pasangan B bisa hamil dengan
cara kedua, pasangan C bisa hamil dengan cara ketiga, mana saja oke, mana saja
boleh dicoba. Yang tidak boleh disamakan adalah HASILNYA, mungkin pasangan B
sudah mencoba cara pertama, tapi rejekinya, takdir Allah swt menghendaki di
cara kedua. Jangan salahkan yang memberi saran untuk mencoba cara untuk hamil,
karena mereka hanya mencoba membantu. Yang paling tahu apa permasalahannya
adalah pasutri sendiri, apa saja yang sudah dialami dan ikhtiar apa saja yang
sudah dilalui, hanya pasutri sendiri yang tahu dan paham. Jadi jangan pernah
menyalahkan dan menyamakan. Semua ada waktu dan jalannya masing-masing. yang
penting tetap semangat dan jangan menyerah.
Image source |
Next, saya akan sharing
soal persiapan kami menjalani IVF, see u
to the next post...
Salam,
Lisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar