Selamat Menempuh Hidup Baru, Semoga
Berbahagia adalah sebuah kalimat yang sering diucapkan ketika mendengar kabar
bahagia dari sepasang manusia yang
akan mengukuhkan hubungan keduanya dalam sebuah ikatan yang
disebut sebagai pernikahan. Sebuah kalimat sederhana, simpel dan biasa menurut
saya sampai beberapa menit yang lalu, sebelum saya menyadari betapa
“keramatnya” kalimat itu. Ketika saya menerima kalimat itu tahun lalu, saya pun
masih belum menyadari hal keramat apa yang terkandung di dalamnya.
*mungkin karena saya agak telmi juga, hehehehe
Sampai beberapa menit lalu, saya
menyadari kesaktian kalimat itu. Ketika seorang teman mengirim satu paragraf
kata-kata perpisahan, yang intinya pamit karena dia telah resign dari
pekerjaannya dan menghadapi minggu-minggu terakhir bekerja di perusahaan yang
sama dengan saya. Dengan salah satu alasan
yang mungkin ada di dalamnya adalah akan menikah. Lantas mengapa harus resign
segala? Perusahaan mana yang tidak mengizinkan karyawannya menikah? Bukan. Jelas
bukan itu inti yang ingin saya bicarakan disini. Tapi boleh juga sih dijawab,
biar nggak penasaran J Saya sih tidak
tahu pasti, Cuma menebak-nebak dengan kemungkinan benar fifty-fifty. Mungkin calon
dari teman saya yang resign itu adalah teman saya juga di perusahaan yang sama.
Adalah suatu aturan yang umum pada perusahaan BUMN untuk tidak menikah dengan sesama
karyawan BUMN pada perusahaan yang sama. Terkait dengan kebijakan yang
berhubungan dengan gaji, pesangon ataupun sejenisnya. Jikalau memang jodohnya
bertemu pada perusahaan yang sama, maka salah satunya harus mundur teratur. Begitulah
sepengetahuan saya. Kalau saya salah, boleh dikoreksi
Kembali lagi,
dengan segala kemungkinan yang saya utarakan sebelumnya, saya jadi seperti
menyadari sesuatu, betapa keramat kalimat "Selamat Menempuh Hidup Baru". Sebuah
kalimat yang mampu membuat teman saya, secara lingkup lebih dekat, satu
perusahaan, resign untuk alasan tersebut. Berani mengambil risiko untuk
bertanggung jawab terhadap hidup pasangannya dan keluarga yang akan dibangunnya
nanti. WOW. Betapa saya terlalu apatis untuk menyadari itu selama setahun ini. Belum
berani untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab dari semua pertanyaan saya
selama ini.
Karena teman
saya juga, saya jadi teringat cerita dari sahabat-sahabat saya yang lebih dulu,
lebih bijak, dan lebih berani dalam mengambil keputusan. Suami dari salah
seorang sahabat saya juga mengambil risiko resign dari pekerjaan lamanya untuk
bekerja di kota yang sama dengan sahabat saya. Dan ketika si suami akan di
mutasi, muncullah sedikit guncangan yang menyebabkan kedua pasang orang tua
plus sahabat saya dan suaminya brainstorming cukup lama diwarnai dengan
perdebatan dan emosi untuk mengambil sebuah keputusan. Namun Allah swt
berkehandak lain, dan masih dengan rutinitas yang sama hingga hari ini
Sebuah cerita
dari perjalanan sahabat saya yang lain. Saya mengenalnya sudah hampir 7 tahun
lamanya, sejak kami dipertemukan di awal saya dan dia menjadi mahasiswa baru. Dan
saya mengenal hampir dari seluruhnya tentang dia. Sahabat saya. Dengan segala
kepandaian yang dia miliki, dia berhasil meraih gelar S2 double degree yang
katanya dapat 2 gelar, dari dalam dan luar negeri, yang ditempuh 2 tahun,
dengan masing-masing 1 tahun. Setelah lulus, niatnya akan bekerja kemudian
menikah dengan pasangannya yang juga saya kenal sejak kuliah. Ternyata,
suaminya yang lebih dulu bekerja mendapat tugas belajar ke luar negeri,
beasiswa S2 dari perusahaan tempatnya bekerja selama 2 tahun. Dengan waktu keberangkatan
tepat 2 bulan dari kepulangan sahabat saya dari kuliah S2. Dan akhirnya,
sahabat saya urung untuk bekerja, dengan jarak waktu yang singkat, antara
kepulangannya dari luar negeri dan keberangkatan pasangannya untuk S2, mereka
mempersiapkan pernikahan. Karena kedua keluarga telah sepakat sebelum sahabat
saya menempuh S2. Sepasang sahabat saya ini melangsungkan akad nikah. Beberapa
hari kemudian, suaminya berangkat ke negara yang memiliki jeda waktu 11 jam
dengan Indonesia. Sahabat saya, pengantin baru, ditinggal di Indonesia. Setelah
melalui berbagai pemikiran dengan kedua pasang orang tua, beberapa bulan
kemudian sahabat saya berangkat, menyusul suaminya.
Dari ketiga
kisah perjalanan hidup teman saya tersebut, membuat saya terus berpikir
bagaimana dengan saya. Yang masih begini-begini saja. Berada pada zona nyaman
dengan apa – apa yang sudah saya miliki dan jalani di sini, sementara suami
saya mencari nafkah di kota lain untuk saya. Saya, yang belum berani berkorban
lebih untuk suami saya, keluarga kami, bertanggung jawab untuk itu. Memang berat
jika dipikirkan. Tetapi jika dijalani sehari demi sehari, terlupakan dengan
pekerjaan, jadi tidak terlalu berat. Hanya saya, yang masih belum berani untuk
mengambil keputusan. Tapi saya percaya, ada harga yang harus dibayar untuk
sebuah pengorbanan. Saya dan suami saya sedang belajar untuk itu, berkorban dan
bersabar untuk memperoleh yang lebih baik, menunggu ridho Allah swt untuk
menjawab pengorbanan dan kesabaran kami. Karena Allah Maha Tahu J and the show must go on. Semua akan indah pada
waktunya. Semoga jalan yang telah saya pilih, saya tempuh dan yang menanti di
masa mendatang selalu berada dalam tuntunan Allah swt. Dan untuk sahabat-
sahabat saya yang telah menginspirasi saya, mempercayakan saya sebagai teman
berbagi, semoga dipilihkan jalan terbaik dan sukses dengan jalan apapun yang
kalian tempuh