Sabtu, 17 Februari 2018

Persiapan Sebelum Mengikuti Program IVF



Bismillahhirrahmannirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Sudah baca postingan saya sebelumnya? Yang soal Apa dan Mengapa kami Memilih IVF? Belum? Soook, boleh mampir dulu biar nyambung sama keseluruhan perjalanan kisah kami. Tapi kalau enggak ya nggak apa-apa juga siih... Siapa tahu kepo, hehehe.

Postingan saya tentang IVF tujuannya murni buat sharing dan dokumentasi. Sharing kepada sesama #ivfsurvivor agar tidak merasa sendirian, bahwa kami pernah berada di posisi itu, meskipun masing-masing pasutri memiliki masalah kesuburan yang berbeda-beda, kami pun merasakan berbagai drama perjalanan panjang menjemput buah hati kami. Dokumentasi adalah sebagai pengingat untuk kami, bahwa kami pernah berada di titik itu, menjalani ujian-ujian yang serupa dengan #ivfsurvivor yang lain, sebagai pengingat agar kami selalu bersyukur, bersyukur dan bersyukur serta bertawakkal atas segala ujian-ujian Allah subhanahu wa ta’alaa yang ditujukan untuk kebaikan kami semata. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillahirrabbil’alamin. Segala Puji bagi Allah subhanahu wa ta’alaa.

Saya maunya posting sejak awal ikut program IVF, sayangnya belum dapat ijin dari Pak Suami, takut saya tambah stres mikirin posting blog atau malah curhat sedih di blog. Begitu positif pun, belum dibolehin pegang laptop juga, takut saya kecapekan, kelamaan duduk, radiasi, dsb, dsb, akhirnya ya manut aja. Baru beberapa minggu kemarin akhirnya dibolehin pegang laptop, Alhamdulillah, tapi baru nulis sebentar aja ternyata sudah pegel di pinggang, maunya lanjut besokannya, Qadarullah, bumil lemes dan mual bergantian selama beberapa hari, jadilah ketunda lumayan lama. Doakan sehat ya, biar cepet bisa sharing dan cerita macem-macem lagi di blog.

Kali ini saya akan sedikit cerita soal apa saja persiapan kami menghadapi program IVF. Pakai persiapan segala? Iya. Perlu persiapan yang matang ya, nggak asal ikut aja, ini masalah yang super sensitif dan serius. Mengingat melibatkan nyawa pasutri, nyawa yang Insya Allah akan hadir dalam rahim dan tentu saja dari segi banyaknya biaya yang harus dikeluarkan.

Keuangan
Keuangan adalah hal utama yang kami persiapkan. Budget dan spare uang HARUS CUKUP. Mengingat biaya Program IVF yang luar biasa mahal bagi kami. Kami bukan orang kaya, saya sudah lama resign dan suami saya hanya karyawan kantoran biasa. Jadi, darimana sumber keuangan kami berasal? Alhamdulillah saya suka menabung, kesukaan saya dengan menabung saya ajarkan kepada suami saya sejak kami masih pacaran, jadi kami menabung selama bertahun-tahun sejak kami pacaran, saya masih bekerja, hingga hari ini, kami selalu menyisihkan sebagian gaji untuk ditabung. Ketika kami memutuskan untuk mengikuti Program IVF, budget kami pun belum cukup, kami harus menabung dulu selama kurang lebih satu tahun untuk mencapai target budget yang kami inginkan. Benar, lama dan harus sabar. Tabungan itu pun pernah mengalami surut beberapa kali untuk keperluan-keperluan mendesak sehingga keinginan kami untuk mengikuti Program IVF terpaksa kami tunda pula beberapa kali sampai terkumpul budget yang kami targetkan.

Jadi, persiapkan kecukupan keuangan yang dikhususkan untuk mengikuti Program IVF. Berapa? Untuk jumlah pastinya tiap pasutri pasti berbeda karena permasalahan masing-masing pasutri pun nggak mungkin ada yang sama persis. Tapi saya akan share juga nanti di next post ya...

Fisik
Persiapan fisik adalah hal kedua yang harus menjadi prioritas. Apanya yang mesti dipersiapkan? Berusaha untuk selalu sehat, tanpa sakit seringan apapun, terutama untuk calon ibu. Makan-makanan sehat dan olahraga teratur agar badan tetap fit. Yang penting juga adalah menjaga badan agar berada dalam batas normal index BMI. Tidak terlalu gendut dan tidak terlalu kurus. Tetapi jangan memaksakan untuk mencapai index normal BMI jikalau badan kita mungkin tidak berada di range tersebut. Kenapa? Perubahan berat badan secara mendadak dapat mempengaruhi siklus haid. Dokter perlu mengetahui siklus haid kita secara menyeluruh. Dokter juga nanti yang akan menyarankan kita untuk memperbanyak makan-makanan tertentu atau mengurangi beberapa jenis dan jumlah makanan tertentu, semata-mata dilakukan untuk menunjang keberhasilan program yang sedang kita jalani. Agak berat memang, bagi saya, tapi jika itu bisa mendekatkan diri kita untuk sejengkal saja lebih dekat untuk mencapai cita-cita hamil, kenapa tidak? Toh, tujuan utama kita adalah untuk bisa hamil, ya kaaan...

Mental
Kesiapan mental merupakan masalah yang paling sensitif menurut saya. Sulit sekali untuk menghindari stres, apalagi kalau tipe pemikir seperti saya, apa-apa dipikirin, apa-apa dikhawatirkan, takut begini, takut begitu. Perlu kerjasama dengan pasangan kalau soal ini. Saya sering mensugesti diri saya sendiri untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal yang belum pasti, berusaha mencari kegiatan positif apapun untuk mengalihkan pikiran saya jikalau saya mulai mengkhawatirkan sesuatu. Saya pun sering diingatkan oleh suami saya, bahwa saya perlu tenang, ikhlas, pasrah dan bertawakkal kepada Allah subhanahu wa ta’alaa atas hasil apapun yang akan kami peroleh di masa depan.

Yang nggak kalah penting adalah support dari orang-orang terdekat. Jadi, pilihlah orang-orang yang benar-benar bisa men-support kita dalam menjalani program. Ini dapat membantu sekali untuk mengurangi bahkan menghilangkan sedikit kekhawatiran dan stres yang mungkin. Karena tidak semua orang bisa berempati tanpa mencaci. Tidak semua orang dalam keluarga kami tahu kami menjalani program IVF. Mengapa? Kami ini berasal dari desa, banyak anggota keluarga kami yang masih awam sekali dengan kecanggihan teknologi program IVF. Jadi, siapa yang kami beritahu? Hanya keluarga inti saja. Kami berusaha mengurangi stres yang timbul akibat anggapan-anggapan salah tentang kami dan program yang kami ikuti. Kami mengikuti program IVF karena kami menyadari bahwa kami ‘tidak sempurna’, bahwa kami ‘tidak sesehat’ yang terlihat dari luar, bukan karena kami mau sok kaya, sok pamer ataupun mau gaya-gayaan, tidak, sama sekali tidak. Yes, bisik-bisik keluarga jauh lebih menyakitkan daripada bisik-bisik tetangga, hehehe.

Yap, cuma tiga hal itu yang super penting menurut saya, detail-nya nanti akan saya share bertahap yaa...

Silakan komentar, bertanya atau bahkan sharing pengalamannya di kolom komentar. Insya Allah saya pun akan share semua, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya ya... Tapi bertahap yaaa, bumil ini masih sering lemes n’ mual, mohon doanya juga biar sehat terus sampai lahiran...




Salam,


Lisa.

Kamis, 15 Februari 2018

Apa dan Mengapa Kami Memilih IVF




Bismillahhirrahmannirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Masya Allah... lamaaa banget nggak blogging. Kangeeen banget banget sebenarnya, tapi apa daya, ada sesuatu yang sedang saya dan suami prioritaskan saat ini, jadi blogging, memasak, baking dan kegiatan rumah tangga lainnya sementara dinomorsekiankan. So, sharing resep cooking and baking-nya saya tunda dulu ya, karena memang lagi nggak aktif di dapur untuk sementara waktu, karena nggak masak, otomatis juga nggak ada yang di foto dan di share di blog, begitu juga dengan feed di Instagram. Tapi tenang, ada beberapa hasil baking dan cooking saya yang Insya Allah belum sempat di post, akan saya post bertahap. Hehehe.

Jadi sekarang mau posting apa? Sesuatu yang menjadi top priority saya dan suami selama setahun terakhir ini. Here we go...

The beginning of our story...
Sebagai pasangan suami istri yang sudah lama menikah, kehadiran buah hati tentu sangat dinanti-nantikan dalam keluarga, termasuk kami. Benar, kami belum dikaruniai seorang anak pun. Benar, saya pun belum pernah hamil sebelumnya. Alhamdulillah. Tetap Alhamdulillah, karena keadaan itu memberikan kesempatan pada kami untuk lebih bisa saling menguatkan dan bersyukur, kami bisa jalan-jalan kemanapun berdua, pacaran halal. Kami bisa jalan-jalan ke Sumatera Barat, Bukittinggi, Janjang Koto Gadang, yang nggak pernah kami bayangkan sebelumnya, kami bisa menikmati itu. Alhamdulillah. Nggak kebayang kalau seandainya saya hamil ketika kami masih berada di perantauan.

Apakah kami menundanya? Tidak. Then why? Mungkin memang belum rejeki kami dan tentu saja takdir. Kami mengira perjalanan rejeki anak untuk kami mulus-mulus saja, sama dengan pasutri kebanyakan yang langsung dikaruniai buah hati tidak lama setelah menikah. Ternyata, ujian kami jauh lebih lama, lebih berat dan penuh drama, menurut kami. Kami perlu menunggu 4.5 tahun untuk bisa menggendong bayi pertama kami. Insya Allah launching bulan Agustus 2018, mohon doanya yaaa...

Tahun pertama kami menikah, saya masih bekerja, bahkan, kami tidak pernah tinggal seatap lebih dari 6 hari selama satu tahun. Masing-masing dari kami masih bekerja, pekerjaan kami mengharuskan kami terpisah propinsi bahkan pulau. Ini kemungkinan pertama yang kami simpulkan sebagai penyebab belum hadirnya buah hati kami. Mungkin, kami terlalu sering memfokuskan diri pada urusan pekerjaan kami masing-masing, mungkin kami selalu melewatkan masa subur kami setiap kali berhubungan, mungkin juga kami terlalu lelah, mungkin, mungkin, dan kemungkinan lainnya yang kami anggap wajar saja di tahun-tahun awal pernikahan kami.

Sampai akhirnya kami memutuskan untuk konsultasi ke dokter. Inipun tidak berjalan mulus. Nggak mudah memang menemukan dokter yang mau mendengarkan, menolong dan nggak cuma mengandalkan obat. Alhamdulillah. Saat itu kami dipertemukan dengan dokter wanita yang cukup terkenal di Madiun, Jawa Timur, kota kelahiran kami, dr. Susanti Mintarsih, SpOG. Menurut mertua saya, dokter Santi, panggilannya, mungkin ‘mau menolong’, nggak cuma acuh sambil memberi resep. Alhamdulillah, benar saja, ketika kami konsultasi, beliau sangat terbuka dengan kami sehingga kami sangat nyaman konsultasi dengan beliau. Insya Allah lahiran nanti rencana mau ke dr. Santi lagi. Mohon doanya ya teman-teman...

Our Problem is...
Dengan dokter Santi, saya menjalani USG abdomen dimasa subur dan masa haid, USG transvaginal dan dirujuk untuk HSG ke dr. Niken. Sementara suami saya harus menjalani tes sperma di lab untuk melihat kualitas spermanya. Dari berbagai tes organ kesuburan itu akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa saya memiliki mioma berukuran 2.4 cm dan saluran tuba falopii saya yang kiri menyempit, tetapi tidak buntu. Sementara suami saya menderita Teratozoospermia. Teratospermiaor teratozoospermia is a condition characterized by the presence of sperm with abnormal morphology that affects fertility in males. Dokter Santi tidak melakukan perawatan lebih lanjut untuk kami. Menurut kesimpulan beliau, status kesuburan kami berada di tengah-tengah, tidak bisa dikatakan subur banget ataupun tidak subur sama sekali, karena permasalahan kami dianggap hanya sebagian-sebagian saja, masih ringan. Hanya saja, suami saya diminta untuk konsultasi ke dokter spesialis Andrologi untuk mengetahui dan menjalani perawatan lebih lanjut. Nah, bagaimana dengan Mioma saya? Dokter Santi tidak menyarankan untuk mengoperasi atau mengambil mioma saya, karena dianggap tidak berbahaya, apalagi saya belum pernah hamil. Memaksakan operasi malah akan merubah kondisi alami rahim. Begitu pula dengan kondisi tuba falopii saya yang menyempit. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus, karena dianggap masih bisa berfungsi dengan baik. Alhamdulillah.

Tahun berganti, saya memutuskan untuk resign dan mengekor kemanapun suami saya ditugaskan. Kami pun semakin merindukan kehadiran buah hati di keluarga kecil kami. Sambil terus berusaha dan berdoa semampu kami, kami pun sempat mencoba beberapa perawatan alternatif dan tentu saja mencari dokter spesialis Andrologi untuk suami saya, yang tidak bisa ditemui di kota kecil seperti Madiun, harus ke kota besar dan rumah sakit besar setidaknya.

Alternatif apa yang saya lakukan? Saya pernah pijat rahim atau perut yang katanya bisa membenarkan posisi rahim saya, yang kata si ibu tukang pijat mungkin jadi penyebab utama kami belum dikaruniai buah hati. Sakit? Banget. Seingat saya, saya hampir tidak bisa beraktivitas normal selama lebih dari seminggu. Seharusnya pemijatan dilakukan tiga sampai empat kali pijat setelah haid, tapi saya tidak mampu menahan sakitnya. Hanya sekali saja dan kemudian kapok. Hehehe. Selain itu, untuk menunjang pengobatan, saya diharuskan minum sari akar pohon jeruk nipis yang direbus dengan sedikit air. Masya Allah pahitnya minta ampuuun... dan nggak mampu minum karena pahit banget, padahal nyarinya susah banget.

Our Last Hope...
Pindah ke Jakarta, kami mulai merencanakan untuk mengikuti program lagi. Harapan kami, dengan kepindahan tugas suami saya, ada kemudahan akses untuk ke rumah sakit. Akses yang kami maksud adalah tentu karena kami percaya Jakarta memiliki banyak rumah sakit besar, dokter-dokter yang jauh lebih hebat dan teknologi medis paling mutakhir dibanding rumash sakit serupa di daerah, secara Jakarta adalah pusat pemerintahan Indonesia dan segala sesuatunya dimulai dari sini.
Kali ini kami berencana untuk mengikuti program bayi tabung (IVF).

Q & A
Apa itu IVF?
IVF (In Vitro Fertilitation) atau Bayi Tabung adalah suatu proses pembuahan sel telur oleh sperma di luar tubuh si wanita: in vitro (di dalam gelas kaca). Proses ini melibatkan proses ovulasi seorang wanita, mengambil suatu ovum atau sel-sel telur dari ovarium (indung telur) wanita dan membiarkan sperma membuahi sel-sel tersebut di dalam sebuah medium cair di laboratorium. Sel telur yang telah dibuahi (zigot) dikultur selama 2-6 hari di dalam sebuah medium pertumbuhan kemudian dipindahkan ke rahim wanita dengan tujuan menciptakan keberhasilan kehamilan. Secara definisi begitu ya. Kalau secara gampangnya, menurut sepemahaman saya, sperma pria dan sel telur wanita diambil dari dalam tubuh kemudian di pertemukan (dikawinkan) di luar tubuh yaitu melalui media tertentu di laboratorium, di biarkan berkembang sampai hari ke-3 atau ke-5 kemudian baru dimasukkan kembali ke dalam rahim wanita. 

Image Source

Mengapa kami memilih IVF?
Selain karena permasalahan kesuburan kami, tentu saja karena IVF menjadi harapan kami satu-satunya setelah berbagai usaha medis dan non-medis yang telah kami lalui tidak membuahkan hasil. Menurut kami, IVF adalah usaha fisik kami yang paling tinggi, paling maksimal untuk merayu Allah subhanahu wa ta’ala agar mengkaruniakan buah hati untuk kami, mengingat biayanya yang sangat mahal bagi kami.

Mengapa kami tidak mencoba IUI atau inseminasi dulu yang dari segi biaya tentu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya IVF?
Menurut sepengetahuan kami, kami merasa teknologi IUI atau Inseminasi tidak jauh berbeda dengan berhubungan pasutri secara normal. Karena IUI hanya mendekatkan sperma untuk membuahi ovum (sel telur) dengan sendirinya. Sementara, gangguan sperma yang dimiliki suami saya bukan karena pergerakannya ataupun kekuatan jarak ejakulasinya yang bermasalah. Jadi kami mantap memilih IVF sebagai jalan ikhtiar kami untuk menjemput buah hati kami. Dalam hal kesempatan hamil, kami menganggap IVF memiliki kesempatan lebih tinggi, karena pemindahan kembali ke dalam rahim wanita sudah dalam bentuk zigot atau hasil perkawinan sperma dan sel telur (ovum).

Waaahh, tahu-tahu sudah sebegitu panjang yaaa, nafas duluuu. Padahal masih permulaan banget, baru sharing soal what n’ why, permasalahan kesuburan dan alasan kami memilih jalan ini. Banyaak banget cara untuk hamil selain hamil normal. Mungkin pasangan A bisa hamil dengan cara pertama, pasangan B bisa hamil dengan cara kedua, pasangan C bisa hamil dengan cara ketiga, mana saja oke, mana saja boleh dicoba. Yang tidak boleh disamakan adalah HASILNYA, mungkin pasangan B sudah mencoba cara pertama, tapi rejekinya, takdir Allah swt menghendaki di cara kedua. Jangan salahkan yang memberi saran untuk mencoba cara untuk hamil, karena mereka hanya mencoba membantu. Yang paling tahu apa permasalahannya adalah pasutri sendiri, apa saja yang sudah dialami dan ikhtiar apa saja yang sudah dilalui, hanya pasutri sendiri yang tahu dan paham. Jadi jangan pernah menyalahkan dan menyamakan. Semua ada waktu dan jalannya masing-masing. yang penting tetap semangat dan jangan menyerah.

Image source

Next, saya akan sharing soal persiapan kami menjalani IVF, see u to the next post...



Salam,

Lisa.